Kamis, 24 Juni 2010

365 Hari

Assalaamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

365 hari...
365 hari, telah berlalu...
365 hari telah berlalu, semenjak aku merasakan getirnya perpisahan...
365 hari telah berlalu semenjak aku merasakan getirnya perpisahan, dan kegetiran itu menjadi bertambah pahit saat aku merasakan kehilangan...
Dan aku tak pernah berharap dapat merasakan kembali getirnya perpisahan dan pahitnya kehilangan...
Tetapi aku sadar bahwa suatu saat aku akan merasakan kembali pahit getirnya perpisahan dan kehilangan...
Walau aku tak pernah berharap saat itu adalah 365 hari setelah hatiku merasakan pahit getirnya perpisahan dan kehilangan yang sampai saat ini masih meninggalkan jejak panjang di dalam hatiku.
Jejak yang telah tersapu ombak manisnya kebahagiaan dan nikmatnya kebersamaan yang telah aku rasakan selama 365 hari ini, hanya tinggal menyisakan jejak panjang yang samar, tetapi hari ini jejak itu seakan di ukir kembali oleh alunan langkah kaki yang berjalan perlahan, menapak dengan irama yang semakin lama semakin kabur, semakin tenggelam, dan akhirnya menghilang di tengah deruan ombak, meninggalkan aku.
Matahari menghilang, diiringi dengan menghitamnya langit, ombak perlahan memperlambat tabuhannya, kemudian mengelus kakiku, lembut, berirama dengan irama yang halus, pelan, seakan ikut merasakan apa yang hatiku rasakan.
Aku duduk termenung di pesisir, menatap jejak panjang yang telah kembali terukir, di payungi oleh langit yang hitam, di temani irama ombak yang seakan merasakan apa yang aku rasakan sambil diiringi nyanyian pesisir malam.
Hatiku sempat gundah, bergejolak, memecahkan irama yang ada di pesisir malam itu.
Tak lama, angin yang berlalu, sayup-sayup sampai, mengelus wajahku, kemudian merangkul pundakku, menenangkan aku.
Angin itu seakan meraba kedalam hatiku, menyejukkan kegundahan hatiku, menenangkan gejolak hatiku, sehingga irama malam itu kembali dapat kurasakan menemaniku.
Cahaya bulan sesaat menyinari pesisir, cahayanya redup, tetapi menambah jelas jejak panjang di sepanjang pesisir, membuatku tambah meratapinya.
Hatiku menunduk, menangis, aku tak mampu menahan tangisan hatiku, kedua mataku pun ikut menangis, menangis bersama hatiku.
Tak ada air mata yang berjatuhan, mereka mengalir dari kedua sudut mataku, mengalir membasuh pipiku, membasahi wajahku, seakan ingin menyampaikan kedukaan pada wajahku, wajahkupun menerima isyarat tersebut, sampai air mataku berakhir di bawah daguku, jatuh menetes, dan membasahi pasir yang ada di bawahnya.
Lautan menyaksikkanku, langit yang hitampun menyaksikkanku, angin yang merangkulku menyaksikkanku.
Mereka semua terdiam, lautan tidak mengelus kakiku lagi, langit hitam menutupi bulan dan menenggelamkannya, cahaya redup yang sebelumnya menyinari jejak tersebut menghilang bersama dengan bulan tersebut, angin yang merangkulku meninggalkanku, meninggalkanku dalam kesendirianku, dalam kesedihanku.
Tetapi mereka tetap menyaksikkan aku malam itu, tiba-tiba ada air yang menetes di pipiki yang telah di basahi air mataku, dingin kurasakan di pipiku, kurebahkan tubuhku di atas pasir, ku tatap langit, hitam legam, kemudian tetesan air menyapaku, jatuh di tubuhku, menyampaikan pesan duka dari langit.
Aku rasakan dinginnya air itu, mendera tubuhku terus menerus, tanpa henti.
Hatiku mendengar terompet yang di tiup dari atas langit, seakan memerintahkan angin menyapu pesisir yang telah di landa hujan malam itu, menyapuku, tambah ku rasakan dinginnya malam itu, sangat dingin, tetapi aku tak bergerak, aku menghormati ucapan duka dari malam itu, mereka ikut berkabung bersamaku malam itu.
Aku menutup mataku, tubuhku yang telah kedinginan lambat laun dapat menikmati malam itu, hujan di malam itu menyelimutiku, angin malam mengelus keningku, menenggelamkanku dalam malam yang berkabung, mengistirahatkan tubuhku, jiwaku, dan hatiku.
Cahaya hangat membangunkanku dari istirahatku, deruan ombak yang riang menyapaku, angin lembut membantuku mengumpulkan pikiranku.
Saat aku sadar, aku menerima semua kebaikan yang telah pesisir itu berikan pagi itu.
Aku menatap jejak panjang yang kemarin telah terukir jelas, jejak itu sudah kacau, terputus, bahkan ada yang hilang, saatku mengingat kembali, hujan semalam telah mengisi jejak tersebut, ombak semalam menyapunya, dan angin malam menutupnya.
Apa yang terjadi? Ribuan pertanyaan seperti itu mengisi pikiranku.
Angin pagi itu seakan mengulurkan tangannya dan membangunkanku, membuatku berdiri, irama pagi itu seakan nyanyian yang syarat akan pesan di telingaku.
Aku mendengarkan pesan itu, mataku terbelalak, wajahku terperangah, aku di sadarkan pagi itu bahwa aku hanya akan merasakan pahit getir dan dinginnya perpisahan dan kehilangan jika aku hanya duduk termenung setiap malam di pesisir itu meratapi jejak yang telah terukir.
Akalku kembali bekerja, aku sadar, aku harus tetap berjalan, berlari mengejar asaku, masih banyak pesisir di hatiku, masih banyak matahari di hatiku, dan semakin banyak, aku tak perlu mengejar jejak yang terukir dalam di pesisir-pesisir di hatiku, aku hanya perlu terus berlari mengejar asaku, menggapai mimpiku, dan menggenggam matahari, kelak hatiku akan mengantarku kepada pemilik kaki-kaki yang telah melangkah di pesisir hatiku dan meninggalkan jejak tapaknya di sana.
Yang terpenting aku harus siap untuk bertemu dengan mereka di hari itu, di saat itu, di saat hatiku mengentarkan mereka padaku, dan aku harus sudah dapat tersenyum lebar di hari itu.

Billahittaufieq wal hidayah
Wassalaamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh